Friday, August 30, 2013

From Kreyo to Korea (part1)

Tidak ada lagi pintu kamar perempuan yang digedor-gedor oleh teman-teman lelaki kami yang membangunkan untuk solat subuh .
Tidak ada lagi kami solat berjamaah di mushola dengan kecepatan doa yang luar biasa kilat.
Tidak ada lagi kami berbonceng-boncengan turun ke alun-alun kota batang untuk menjual takjil di sore hari pada bulan puasa.
Tidak ada lagi makan bersama di meja makan.
Tidak ada lagi kami, para perempuan, lari terbirit-birit masuk ke kamar, melewati gerombolan teman-teman lelaki yang sedang berkumpul di depan tv, sambil membawa jemuran pakaian dalam kami yang telah kering.
Tidak ada lagi main UNO hingga pukul 2 pagi.
Tidak ada lagi curhat-curhatan di tengah permainan UNO.
Tidak ada lagi kami membonceng teman-teman lelaki sambil melewati kuburan di jalan menuju desa tanpa lampu yang kondisinya telah rusak.
Tidak ada lagi rutinitas melewati persawahan dengan jalan berkelok-kelok tanpa lampu.
Tidak ada lagi anak-anak TK yang berteriak “K K NNN!!” ketika kami lewat di sekitar desa.
Tidak ada lagi kami pergi ke pasar membeli kebutuhan untuk program kami.
Tidak ada lagi kami ke alfamart untuk sekedar membeli makanan ringan atau kebutuhan-kebutuhan yang kurang.
Tidak ada lagi teman lelaki yang kerap mengetuk pintu kamar perempuan hanya untuk meminjam sisir setelah dia mandi.
Tidak ada lagi kami jalan-jalan ke pekalongan di malam hari untuk sekedar menikmati kopi/coklat di pinggir jalan.
Tidak ada lagi kami makan kerupuk singkong dan roti gapit buatan warga desa.
Tidak ada lagi teman-teman lelaki yang minta dipijat.
Tidak ada lagi candaan teman-teman lelaki kepada teman-teman perempuan.
Tidak ada lagi tangis yang pecah akibat keusilan teman-teman lelaki.
Tidak ada lagi kami minum teh di pagi hari.
Rutinitas selama 35 hari tersebut, tiba-tiba hilang.
Rutinitas yang telah kita jalani bersama.
Hari ini, kita kembali menjalani aktivitas harian yang biasa kita lakukan sebelum kita dipertemukan bersepuluh.
Ini bukan perpisahan, tidak ada silaturahmi yang terputus.
Ini adalah permulaan, sebuah keluarga baru.
Berakhirnya masa kerja KKN kita tidak berarti berakhir pula persahabatan kita.
Kalian telah memberi warna kehidupan yang baru.
Aku bangga pada kekompakan team kita.
Munculnya konflik tidak meretakkan kekuatan team kita.
Terima kasih atas hari-hari yang telah kita lalui bersama.
Pengalaman ini takkan mungkin aku lupakan.
Kalian semua hebat.
Sekali lagi, terima kasih kawan.

Bogor, 30 Agustus 2013

image

image

image

image
image

Wednesday, August 28, 2013

Indonesia Susah Bersih?


image


Cerita ini berawal ketika saya mengunjungi sebuah rumah sakit pemerintah, yakni RSUP Kariadi di Semarang. Pagi itu sekitar pukul 09.00 saya sedang menemani ayah yang melakukan medical check up, saya duduk di ruang tunggu…karena lapar, mampirlah saya ke sebuah toko roti, setelah makan roti dan minum-minum, panggilan alam pun tiba.. saya segera mencari toilet terdekat di ruang tunggu.
Begitu pintu toilet saya buka, aroma tak sedap pun tercium di sekitar ruangan tersebut. Toilet tersebut secara desain cukup modern, , dilengkapi dengan dua bilik dan satu wastafel. Yang membuat tidak nyaman adalah aroma tak sedapnya. Saya segera masuk ke dalam bilik sebelah kanan, setelah bisnis kelar, saya perhatikan setiap detail bilik toilet tersebut. Lantai yang baru dan mengkilat, tisu toilet, tempat sampah…semuanya tampak normal dan rapi. Namun ada satu hal yang cukup mengganggu penglihatan saya, yakni di pojok lantai terdapat semacam cairan riak, saya pikir itu adalah bekas ludah seseorang. Cukup mengherankan, kenapa dia tidak meludah di toilet saja? Kenapa harus mengotori lantai yang seharusnya bersih mengkilat bebas dari air? Toh ada flush dan semprotan toilet. Melihat pemandangan yang menjijikkan, segera saya siram ludah tersebut menggunakan semprotan.
Keluar dari bilik, saya segera mencuci tangan…di samping wastafel terdapat instruksi cara mencuci tangan yang benar, ketika saya sedang mencuci tangan sambil mengikuti instruksi tersebut, masuklah ibu-ibu petugas kebersihan.
Beliau masuk dengan muka masam, sambil memanggil saya dan menunjukkan sesuatu di toilet bilik sebelah kiri…beliau seperti mengungkapkan kekesalannya:
Ibu petugas kebersihan: “liat nih mba, jorok sekali” sambil tangannya menunjuk sebuah pembalut bekas pakai wanita yang dibuang begitu saja di lantai di bawah toilet duduk. Saya syok. Ngeri. Jijik. Heran betapa joroknya wanita yang membuang pembalutnya begitu saja di tempat yang tidak tepat.
Ibu petugas kebersihan: “setiap hari saya menemukan seperti ini. Capek tau gak mbak. Mereka ini tidak punya perasaan sama orang-orang yang bersih-bersih. Toilet sudah gratis tapi masih sembarangan aja kalo make. Saya dari pagi belum makan mba, saya bolak-balik bersihkan lorong terus ini.”
Saya mendengarkan.
Ibu petugas kebersihan: “saya ini gaji sehari cuma 30.000, atasan suka marah kalo toilet nggak bersih, dia galak sekali. Tapi orang-orang pada nggak tau jaga kebersihan. Masa saya harus liat kaya gini terus. Mau berhenti kerja juga saya nggak ngapa-ngapain di rumah. Liat kaya gini saya kan jadi nggak berselera makan to mbak”
Saya merespon ibu tersebut dengan memberikan simpati. Terlihat sekali raut mukanya yang marah bercampur lelah.
Hati saya marah. Marah terhadap orang-orang Indonesia yang nggak bisa menjaga kebersihan di tempat umum. Apanya sih yang kurang? Toilet bagus, bersih, bangunan baru, ada tempat sampahnya juga di tiap bilik. Kenapa masih ada aja yang nggak menjaga kebersihan?
Apa karena cuma mampir sekali lalu masa bodoh dengan pengguna toilet lainnya?
Andai kata orang-orang tersebut menjumpai kondisi serupa, apakah mereka nyaman melihat dan mencium aromanya?
Yang harusnya lebih dipikirkan lagi, bagaimana perasaan petugas kebersihan yang harus membersihkan kotoran-kotoran tersebut setiap hari? Kotoran yang seharusnya kita bersihkan sendiri.
Ya kita tau mereka dibayar untuk bekerja, tapi tau sendiri kan ternyata gaji mereka sehari berapa? Bahkan mungkin habis hanya untuk makan sehari dan biaya transportasi.
Apa sih susahnya membuang kotoran di tempat yang seharusnya?
Saya suka sebal melihat tingkah orang-orang jorok di fasilitas umum.
Bagaimana bisa hidup dengan gaya hidup seperti itu?
Disamping tidak sehat, tentunya juga mengganggu secara estetika.
Yuk kita sama-sama menjaga kebersihan fasilitas publik Mungkin tempat itu dipakai seribu orang dalam sehari, tapi kalau seribu orang tersebut tidak menjaga kebersihan, dalam sehari pastilah fasilitas public terganggu kebersihannya, begitu pula sebaliknya, jika seribu orang yang menggunakan fasilitas publik sama-sama menjaga kebersihan, pasti semua senang memakainya karena nyaman. Saya nggak mau lah ya ceramah di blog ini harus ini itu, paling enggak kita jadi tau dari perspektif seorang petugas kebersihan yang pekerjaannya berkaitan dengan “bisnis” banyak orang, yang mungkin sering kita lupakan atau bahkan tak kita pedulikan?